ZIYARAH MAKAM BUKAN SEKEDAR MENGINGAT KEMATIAN TAPI…

Panji Makalalag
Panji Makalalag
4 Min Read

Ziyarah ke makam itu, utamanya makam para Aulia ALLOH, sejatinya bukan hanya untuk mengingat kematian [ذكرالموت] tapi juga untuk mengingat tentang kehidupan dan bagaimana agar tetap hidup setelah kematian.

Ya, kematian itu sesungguhnya hanya pintu gerbang menuju alam kehidupan yang hakiki, yang kekal dan abadi. Oleh karenanya, jangan takut mati, sebaliknya, mesti cinta dan merindukan kematian. Dengan ungkapan lain, Hadrotus Syeikh Muhammad Abdul Gaos Saefulloh Maslul Ra Qs menyampaikan, “Kita mah bukan harus berani mati tapi mesti berani hidup.” Apa maksudnya dan mengapa?

Karena kematian adalah awal kehidupan bagi manusia-manusia pilihan-NYA. Semua manusia ketika mati ya mati kecuali mereka yang semasa dan ujung hidupnya di jalan ALLOH: mereka hidup di sisi-NYA, berdasarkan Qs Al Baqoroh 154.

وَلَا تَقُوْلُوْا لِمَنْ يُّقْتَلُ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ اَمْوَاتٌ ۗ بَلْ اَحْيَاۤءٌ وَّلٰكِنْ لَّا تَشْعُرُوْنَ
“Dan janganlah kamu mengatakan orang-orang yang terbunuh di jalan Allah (mereka) telah mati. Sebenarnya (mereka) hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.”

Umum menafsir bahwa orang-orang yang mati di jalan ALLOH itu adalah orang-orang yang gugur berjihad di medan peperangan. Oleh karena tafsir sempit seperti ini banyak yang tertarik untuk turun berjihad di medan-medan konflik. Dianggapnya inilah jalan jihad yang sesungguhnya.

Kalau merujuk pada Sabda Kanjeng Nabi Muhammad Shollallohu ‘alaihi wasallam, medan jihad dimaksud merupakan jihad paling kecil, berdasarkan:

رجعنا من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر: جهاد النفس
Kata رجعنا dalam hadits ini, jelas Guru Sufi Agung Saefulloh Maslul Ra, menggunakan fi’il madhi, artinya, bentuk lampau, “Kita telah kembali”. Artinya, sejatinya sudah tidak ada lagi جهاد الاصغر, kasta terkecil jihad, yakni, pecahnya perang penuh tumpah darah. Dan kini saatnya kita sambut medan jihad maha besar, جهاد الاكبر, yaitu perjuangan menundukkan, melemahkan, mengalahkan hawa nafsu.

Para kekasih ALLOH, para Ulama, dan orang-orang sholeh –apapun profesi dan latar belakang pekerjaannya– adalah orang-orang yang semasa hidup dan ujung kehidupannya slalu bermujahadah fi sabilillah, mereka adalah para mujahid sekaligus syuhada di medan jihad akbar: melawan dan menundukkan hawa nafsu.

Mereka adalah orang-orang pilihan yang dikehendaki-Nya mampu mengalahkan hawa nafsunya bahkan membantu banyak orang untuk memiliki ketangguhan jiwa untuk menempuh hal yang sama. Oleh karenanya, mereka tidak mati tapi hidup, demikian, saat berziyarah ke makam mereka mohon dijaga tatakrama seperti laiknya beranjangsana: haturkan salam lalu hadiahkan sekeranjang do’a di hadapan orang-orang yang dimuliakan ALLOH, dengan berkah dan karomah mereka.

Ketika berziyarah sama halnya kita sedang bersilaturhim [صلةالروح الا رواح]: hormat dan hidmatlah sepanjang ziyarah di tanah peristirahatan terakhirnya. Senang mereka kita “sowani”, memperkenalkan diri untuk dikenali mereka.

Ini sangat penting, karena pada akhirnya kita juga akan berpindah alam juga seperti mereka. Saat waktunya kita berpindah, kita sudah tidak asing –dan tidak dianggap asing– oleh mereka, karena sejak sekarang kita sudah berkenalan, bahkan sudah akrab dengan mereka, yakni saat moment berziyarah dan tawassul kepada mereka. Dawuh Pangersa Abah Aos Ra, seluruh nama-nama dan atau golongan yang kita sebut dalam tawassul maka semuanya hadir.”

Di atas segalanya, ziyarah adalah kesenangan para Guru Kekasih Alloh. Kita hanya ikut, agar terbawa.

Salam cinta,
KH Budi Rahman Hakim, MSW., PhD.
[Pecinta Ziyarah/Alumni McGill University School of Socialwork, Montreal, Kanada/Ketua Penasehat Roudhoh TQN Suryalaya Sirnarasa Pusat]

Share this Article
Leave a comment