Hukum Mempelajari Ilmu Tashowwuf

Panji Makalalag
Panji Makalalag
2 Min Read

Oleh: Syaikh Muhammad Abdul Gaos Saefulloh Maslul Ra Qs
(Wali Mursyid Silsilah ke 38 TQN PP Suryalaya)

Mengapa kita berkeinginan menjadi Muballigh/penyampai ilmu ini? Karena sampai sekarang masih banyak yang beranggapan merasa tidak penting atau kurang penting atau tidak mau tahu malah masih banyak yang mau tapi dihantui rasa takut karena banyak yang menaku- nakuti, akhirnya banyak yang anti-pati, padahal apabila merujuk kepada pendapat seorang shufi terkenal di dunia seperti Imam Al- Ghazali berpendapat:

“Adapun hukum mempelajari ilmu tashowwuf menurut hukum syara’ maka Al- Ghazali berkata : Sesungguhnya tashowwuf itu hukumnya fardhu ain, karena setiap orang tidak lepas dari cacat atau penyakit hati terkecuali Nabi-Nabi Alaihimussholatu Wassalam “. (iqodlul Himam: 8)

Syeikh Imam As-Syadzili berkata: “Barang siapa tidak masuk tenggelam ke dalam ilmu Kami ini, maka dia mati dalam keadaan dosa besar tapi tidak mengetahui bahwa dia berdosa besar”. (Iqodlul Himam: 8) Dimana keberadaannya fardhu ain, maka wajib berangkat mendatangi orang yang bisa mengambil ilmu itu daripadanya, jika telah dikenal orang itu sebagai dokter yang akan merawat serta memiliki obat yang manjur di tangannya, sekalipun harus melawan kedua orang tua mengingat bukan seorang yang menetapkan tentang itu seperti Al- Bilaly was Sanusi dan selain itu seperti pendapat As-Syaikh As Sanusi: “Nafsu itu ketika mendesak bagaikan musuh ketika datang tiba- tiba maka wajib melawannya serta minta pertolongan untuk mengalahkannya sekalipun harus melawan kedua orang tua seperti menghadapi musuh”. (Iqodzul Himam: 9)

Begitu juga Syeikh Zuruq RA berkata: “Kedudukan tashawwuf dari Dinul Islam seperti kedudukan ruh dari jasad karena untuk mencapai maqom ihsan yang dijelaskan oleh Rosululloh SAW kepada Jibril: ‘Al-Ihsan adalah hendaknya engkau mengabdi kepada Alloh seakan-akan engkau melihat-Nya’ karena tiada makna ihsan selain itu karena tempat berputarnya sekitar muroqobah setelah musyahadah atau musyahadah setelah muroqobah”. (Iqodzul Himam 9)

Sumber referensi: Nuqthoh (No. 7 Tahun III/11 Rajab 1425 H-25 Agustus 2004 M)

Share this Article
Leave a comment