Oleh: Dr. K.H. Akbar Mardani
(Wakil Talqin Pangersa ABAH AOS dari Bogor)
22 AGUSTUS 2013
Keluarga bahagia bukanlah keluarga tanpa masalah. Keluarga bahagia adalah keluarga yang mampu memecahkan masalah. Jika niat awal menikah untuk mencapai ridha Ilahi, maka dalam perjalanannya ketika menghadapi masalah, solusinya pun harus solusi Islami. Maka seorang suami akan memandang masalah yang terjadi bukanlah bersumber dari istrinya. Demikian pula sang istri tidak mempersepsikan suaminya sebagai biang masalah.
Hal terpenting dalam menyelesaikan masalah keluarga adalah komitmen menjalankan konsep Islam. Kesalahan memahami posisi suami menjadikan sebagian laki-laki merasa memiliki otoritas tak terbatas kepada istrinya. Sementara sebagian wanita beranggapan bahwa kefeminimannya adalah permainan bagi laki-laki. Persepsi ini membuat suami istri sulit untuk hidup dalam nuansa saling menasehati dan bermusyawarah atas permasalahan yang terjadi. Padahal diantara poin utama ajaran Islam adalah semangat syura, musyawarah. Termasuk dalam kehidupan berkeluarga.
Dengan adanya tujuan yang sama dan referensi pemecahan masalah yang sama, kebahagiaan berkeluarga lebih mudah direalisasikan. Tujuan yang sama menjadikan suami istri mampu mengatasi segala permasalahan yang kelak datang menyapa biduk pernikahan. Sekaligus mampu meminimalisir tekanan yang mungkin timbul. Referensi pemecahan masalah yang sama, dengan menjadikan Al-Qur’an dan sunnah sebagai undang-undang utama, membuat suami dan istri merasakan keadilan dalam setiap keputusan dan menanggalkan ego yang justru bisa mengancam utuhnya bahtera rumah tangga.
Hal lain untuk merealisasikan kebahagiaan adalah bersifat realistis, yakni dengan menerima kesalahan suami atau istri yang telah terjadi dan memaafkannya setelah ia menyadari serta berkomitmen akan memperbaikinya. Realistis juga berarti saling memahami karakter pasangan kita dan latar belakangnya. Mendapati suatu hal yang menurut kita masalah, tidak serta merta memandangnya sebagai kesalahan. Tetapi hal pertama yang kita tanyakan adalah mengapa terjadi demikian atau adakah latar belakang yang menjadi dasar hingga hal itu terjadi atau mengapa pasangan kita melakukannya.
Jika kita mau melihat kehidupan rumah tangga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sungguh kita akan mendapati perlakuan beliau kepada istri-istrinya sangat sesuai dengan karakter dan keadaan masing-masing istrinya. Aisyah yang saat itu masih muda, ia adalah istri yang paling “manja”. Maka Rasulullah pun menyediakan dirinya sebagai tempat bermanja. Pun saat Aisyah cemburu dan memecahkan tempat minum sewaktu Rasulullah sedang bersama sahabatnya. Rasulullah tidak berbalik marah, beliau hanya meminta maaf kepada sahabatnya jika merasa terganggu atas hal itu seraya mengatakan, “ibu kalian sedang marah.” Subhaanallah, mulia dan indahnya.
Bisakah kita?