Oleh: Syaikh Muhammad Abdul Gaos Saefulloh Maslul Ra Qs
(Wali Mursyid Thoriqoh Qoodiriyyah Naqshabadiyyah PP Suryalaya Silsilah ke 38)
Ruh (hati) merupakan awal tempat terkaitnya roh pada Jasad. Ia berasal dari اللّٰه dalam keadaan suci bersih maka hendaknya ia kembali pada pemilik-Nya juga dalam keadaan Yang suci juga. Kesucian jiwa yang terpancar melalui akhlak Pemiliknya inilah yang sebenarnya menjadi pokok diturunkannya Nabi Muhammad SAW ke muka bumi, keluhuran budi pekerti nabi Mendapatkan pujian dari اللّٰه. Hal ini terdapat dalam surat Al Qolam ayat 4:
وَاِ نَّكَ لَعَلٰى خُلُقٍ عَظِيْمٍ
“Dan sesungguhnya engkau benar-benar, berbudi pekerti yang luhur.”
Keluhuran akhlak ini menjadi salah satu indikator tingginya pemahaman akan makna agama dan keluhuran derajat di sisi Alloh. Dalam Al Qur’an, اللّٰه banyak menyebutkan umat-uma Yang shaleh yang bercirikan akhlak yang baik. Seperti Lukman al Hakim, beliau adalah seorang hamba اللّٰه yang shaleh yang Namanya diabadikan dalam Al Qur’an. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Lukman al Hakim pernah berwasiat pada Anaknya sebagai berikut:
عَنْ لُقْمَانِ الْحَكِيْمِ لِا بْنِهِ : اَنَّ النَّاسَ ثَلَاثَةُ اَثْلَاثٍ، ثُلُثُ لِلَّهِ وَ ثُلُثٍ لُلدُّوْدِ، فَاَ مَّا هُوَلِلَّهِ فَرُوْحُهُ وَ اَمِّا هُوَ لِنَفْسِهِ فَعَمَلُهُ وَ اَمَّا هُوَ لِلدُّوْدِ فَجِسْمُهُ
“Wahai anakku manusia itu terdiri dari tiga Pertiga bagian, sepertiganya untuk Alloh, sepertiga untuk dirinya, dan Sepertiga lainnya untuk belatung. Adapun yang kembali pada اللّٰه Yaitu ruhnya, sedangkan yang kembali untuk dirinya (baik manfa’at Atau mudarat) ialah ‘amalnya, dan yang satu bagian lagi jasadnya akan Menjadi santapan belatung, kecuali para nabi dan kekasihnya.”
Dari ketiga hal yang diwasiatkan Lukman al Hakim kepada Anaknya, yang menjadi hal yang paling penting ialah mengenai Sepertiga yang akan kembali kepada اللّٰه yakni ruh kita. Karena Ruh kita akan kembali pada-Nya, dan akan mempertanggungjawabkan Segala manfaat dan mudarat yang pernah dilakukannya. Akibatnya, Ruh inilah yang harus benar-benar kita jaga. Salah satu upaya kita Untuk tetap memurnikan ruh kita adalah dengan mempelajari Ilmu Tashowwuf. Dengan ilmu Tashowwuf kita akan lebih bisa Memahami berbagai upaya penyucian jiwa agar senantiasa terbebas dari berbagai penyakit hati. Dan muara dari kebersihan Hati ini adalah terciptanya pribadi yang berakhlak luhur. Mengenai Keutamaan Tashowwuf dan penyucian jiwa untuk mencapai Ma’rifatulloh, Syekh Assyazili berkata: “Barangsiapa yang belum mencicipi/merasakan ilmu-Ku ini (maksudnya soal kesadaran kepada Alloh SWT) maka matinya akan Membawa dosa besar betapa pun banyak amalnya dan tidak merasa serta Tidak tahu.”
Lain dari itu, mengenai upaya penyucian diri juga Memerlukan bimbingan dan arahan dari seseorang yang Terpercaya. Sebagian ‘arifin menyatakan: “Barangsiapa meninggal Dunia (mati) tanpa pernah menemukan guru mursyid yang kaamil Mukammil yang mengasuh dirinya ke arah kesadaran kepada اللّٰه SWT, maka dia membawa dosa besar dan merugi meskipun ‘amalnya sebanyak orang sejagat dari bangsa jin dan manusia.” Banyak penyakit (terutama penyakit batin) yang tidak bisa dihilangkan kecuali dengan ilmu ini. Syekh Ibnu’Athoilah berkata:
اُخْرُجْ مِنْ اَوْصَافِ بَشَرِ يَّتِكَ عَنْ كُلِّ وَصْفٍ مُناَ قِضٍ لِعُبُوْدِ يَتِكَ لِتَكُوْنَ لِنِدَاءِ الحَقِّ مُجِيْبًا وَ مِنْ حَضْرَتِهِ قَرِيْبًا
“Keluarkan dan hilangkanlah dari sifat-sifat kemanusiaanmu semua sifat yang menggugurkan penghambaanmu kepada Alloh, supaya menjadi orang yang menyambut dengan sempurna atas panggilan Alloh dan dekat dengan hadirat-Nya.”
Upaya menghilangkan sifat-sifat madzmumah zhohir dan batin ini tidak mudah. Semua harus dilalui dengan sering riyadloh (berlatih) dan selalu ber-mujahadah (bersungguh-sungguh) kepada اللّٰه. Perlu dipahami bersama bahwasanya Thoriqot kaum Sufi bukan untuk santai-santai atau bermalas-malasan, melainkan bersungguh-sungguh dalam beribadah guna mencapai puncak penyerahan diri sepenuhnya hanya kepada اللّٰه. Dengan semangat itu pula lah seorang dapat mengikis habis sifat madzmumah (akhlak yang buruk/takholli), dan mampu menghiasi dirinya dengan sifat mahmudah (akhlak yang baik/tahalli) seperti tawadhu, khusyu, dan memelihara ketaatannya kepada اللّٰه. Perasaan berat untuk melakukan nista dan dosa, tetapi merasa ringan dan nikmat dalam menjalankan berbagai titah اللّٰه. Maka bagi mereka yang seperti inilah, predikat ‘Abdu اللّٰه sebenarnya diperuntukkan.
Sebagaimana kita ketahui bahwa dua kata kunci menuju ‘abdu اللّٰه adalah riyadloh dan mujahadah. Sayangnya untuk menjalankan keduanya kita mesti memerlukan seorang pembimbing Dan penasihat. Oleh karena itulah, maka perkara mencari Syekh Mursyid juga merupakan suatu hal yang tidak kalah pentingnya. Mengenai Syekh Mursyid, dalam kitab Jami Al Shogir disebutkan Rosululloh ShollAllohu ‘alaihiwasallam bersabda:
لا تَزالُ طائِفَةٌ مِن أُمَّتي ظاهِرِينَ علَى الحَقِّ حتّى تقول السّاعة (روه الحكم عن عمر حدث صحيح)
“Di kalangan umatku senantiasa tidak sepi dari adanya ‘thoifah’ yang memperjuangkan perkara yang haq sampai datangnya hari kiamat.” (HR. Hakim dari Umar ra)
Dalam kutipan hadits di atas disebutkan kata thoifah. Kata thoifah ini dimaknai sebagai seseorang yang memiliki pemahaman yang mendalam tentang Islam. Dalam kitab Da’wah at Taamah, halaman 23 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan thoifah adalah “rijalulloh” dan “ahlulloh”. Permasalahannya sekarang adalah siapakah yang dimaksud thoifah ini? Memang agak sulit untuk sekarang, adalah menjawab pertanyaan ini karena pada dasarnya mereka (thoifah) dilahirkan sebagaimana manusia biasa, meski demikian mereka memiliki keutamaan. Mengenai keutamaan ini dijelaskan dalam kitab Jaami al Auliyaa halaman 4 yakni sebagai berikut:
قلبه يطوف اللّه داء ما
له شرق يسرى فى العالم كما يسرى الرّوح فى الجسد او
كما يسرى الماء فى الشجر (جمع الاصول: ٤)
حمل همو اهل الدنيا (تقريب الا صول: ٩١)
- Hatinya senantiasa thowaf kepada Alloh sepanjang masa.
- Mempunyai sirri yang dapat menerobos kepada seluruh alam seperti meratanya roh dalam jasad atau seperti merembesnya air di dalam pohon-pohonan.
- Beliau menanggung (memprihatinkan) kesusahan dan kesulitan ahli dunia.
Keterangan lainnya juga dapat kita peroleh dalam kitab Taqriibul Ushuul:
لولا يصبح واحد الزّمان يتوجّه الى اللّه في امر الخلا ءق لفجاء هم امراللّه فاهلكهم (تقريب الاصول: ٥٣)
“Andaikata tidak ada ‘wahiduz-zaman’ yang senantiasa tawajuh kepada Alloh memohonkan bagi perkaranya segala makhluk, tentulah datang suatu perintah اللّٰه yang mengejutkan mereka kemu- dian menghancurkan mereka.”
Wahiduz-zaman yang dimaksud tiada lain adalah guru mursyid yang menjadi pembaharu Iman umat pada masanya. Ia adalah seorang yang keluasan ilmunya bagai lautan, pemahaman akan perkembangan zaman sangat mendalam, dan kehalusan pemikirannya tak perlu lagi disangsikan. Bagi ikhwan TQN Pondok Pesantren Suryalaya yang diyakini menjadi wahiduz-zaman ialah Pangersa Abah, Syekh Ahmad Shohibu Wafa Tajul ‘Arifin. Secara lahiriah beliau memiliki kegiatan yang sama dengan kegiatan ulama lainnya, yakni untuk amar ma’ruf nahi munkar, menegakkan kebenaran dan keadilan, serta mengajak dan menuntun masyarakat kembali kepada اللّٰه. Beliaulah yang memiliki tanggung jawab dalam memikirkan umat sedunia. Perjuangannya terutama dalam cakrawala alam rohani.
Sumber: Lautan Tanpa Tepi Cetakan 2009